Kondisi advokat di tahun 2008 masih didominasi cerita perpecahan organisasi. Pergantian tahun kemungkinan tidak akan membawa perubahan kondisi yang lebih baik.
“Ini sudah kebablasan,” kata seorang pengurus Kongres Advokat Indonesia (KAI) kepada hukumonline, akhir November lalu. Pernyataan ini terlontar selang beberapa hari setelah insiden kericuhan di Gedung Mahkamah Agung pada 24 November 2008. Ketika itu, dua kubu “berseberangan”, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan KAI, nyaris baku hantam di depan ruang kerja Hakim Agung Harifin Tumpa.
Insiden di MA bisa dibilang menjadi titik nadir sekaligus momen paling memalukan bagi kalangan advokat. Menyandang status officium nobileum, alih-alih menunjukkan sikap terhormat, sejumlah advokat justru berulah seperti “preman”. Kejadian itu juga semakin menegaskan bahwa persatuan menjadi “barang mahal” di kalangan advokat. Sebaliknya, perpecahan bak penyakit kronis menahun yang sulit disembuhkan.
Benih-benih perpecahan sebenarnya sudah tampak ketika sejumlah advokat menyatakan keberatan terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Peradi. Proses rekrutmen advokat, misalnya, dinilai terlalu dipersulit. Mulai dari penerapan standar kelulusan (passing grade) yang terlalu tinggi hingga persoalan biaya yang terlalu mahal. Sebagian yang protes, bahkan sempat mengamuk di kantor DPN Peradi.
Gelagat perpecahan juga muncul di level organisasi advokat dalam lingkup “kecil”. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), salah satu organisasi advokat tertua, terbelah dua pasca Musyawarah Nasional di Balikpapan, Juni 2007. Otto Hasibuan dan Teguh Samudera saling mengklaim sebagai DPP Ikadin yang sah. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) juga nyaris bernasib sama ketika menggelar Musyawarah Nasional, September 2007.
Sebagaimana disebut dalam UU Advokat, Ikadin dan IPHI adalah dua dari delapan organisasi yang diberi amanat untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat. Kedelapan organisasi itulah yang membidani kelahiran Peradi pada tahun 2005 silam. Para petinggi masing-masing organisasi itu kemudian duduk di kepengurusan DPN Peradi. Otto Hasibuan didaulat sebagai Ketua Umum.
Perpecahan di level bawah ternyata merembet juga ke atas. Walaupun tidak begitu nyata terlihat, sulit dipungkiri bahwa kedua momen itu saling berkaitan. Faktanya, Otto Hasibuan dan Teguh Samudera yang berseteru di Ikadin, juga menjadi pihak yang berseberangan dalam konflik Peradi dan KAI.
Kongres ‘perpecahan’
Awalnya hanya benih lalu tumbuh mendekati kenyataan. Sejumlah advokat yang berseberangan dengan Peradi mulai merapatkan barisan. Uniknya, di antara mereka, juga “terselip” beberapa pengurus DPN Peradi. Diawali dengan pertemuan di Hotel Manhattan Jakarta, lalu diikuti beberapa forum berikutnya. Dari rangkaian pertemuan itu, lalu tercetus gagasan menggelar sebuah kongres. Kepanitiaan dibentuk, draft materi kongres pun mulai disusun.
Dalam perjalanannya, ada beberapa kejadian yang sepertinya justru semakin mendorong digelarnya kongres. Pencabutan izin advokat Todung Mulya Lubis adalah salah satunya. Todung yang sudah puluhan tahun berprofesi advokat, dijatuhi sanksi pencabutan izin buah dari pengaduan Hotman Paris Hutapea. Todung dituding melanggar kode etik advokat karena adanya konflik kepentingan dalam sebuah kasus. Kebetulan, Dewan Kehormatan Daerah Peradi DKI Jakarta “sepakat” dengan tuduhan pengadu.
“Saya siap mengajukan banding, I’m innocent I’m not guilty,” ujar Todung beberapa saat setelah putusan yang cukup mengejutkan itu. Sayang, tekad Todung tiba-tiba berubah haluan. Tenggat waktu mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat Peradi, diabaikan Todung. Penggiat anti korupsi itu justru mengajukan banding ke Majelis Kehormatan KAI –sebelumnya Dewan Kehormatan Adhoc. Pencabutan izin dari Peradi pun berubah menjadi skorsing 1 bulan 15 hari.
Berubah haluan tidak hanya dilakukan oleh Todung. Mohammad Assegaf, juga advokat senior, melakukan hal serupa tidak lama setelah mendapat sanksi teguran keras dari Dewan Kehormatan Peradi. Aksi lompat pagar kemudian diikuti sejumlah advokat lain, baik senior maupun junior. Dari level senior, yang paling fenomenal mungkin keputusan Adnan Buyung Nasution merapat ke KAI. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini bak ikon bagi KAI. Makanya, tidak heran jika kemudian Buyung dinobatkan sebagai Bapak Advokat Indonesia. Tidak hanya itu, Buyung juga diberi posisi khusus di kepengurusan KAI, Ketua Kehormatan (Honorary Chairman).
Hampir 10 bulan sejak pertama kali digagas, kongres akhirnya digelar di penghujung Mei 2008. Kongres yang diberi titel Kongres Advokat Indonesia ini dilaksanakan di Balai Sudirman Jakarta. Panitia mengklaim, kongres dihadiri oleh ribuan advokat dari seluruh pelosok Indonesia. Dalam acara itu, Buyung bahkan mengatakan panitia telah berupaya mengundang pengurus DPN Peradi. “Abang (Buyung, red.) masih berharap pihak Peradi berkenan ikut kongres," ujar advokat yang memiliki julukan Si Jambul Putih itu. Harapan tak menuai hasil, tak satupun pengurus DPN Peradi menunjukkan batang hidungnya.
Tidak hanya Otto Hasibuan cs yang diharapkan hadir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga dinanti untuk membuka kongres. H-1, panitia mengklaim telah mendapat konfirmasi SBY akan hadir pada acara pembukaan. Di hari H, SBY ternyata batal hadir. Panitia menunding ada lobi-lobi dari advokat yang kontra kongres dan campur tangan Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta yang mengakibatkan RI-1 urung datang. Sebelumnya DPN Peradi juga melayangkan surat protes terkait rencana kehadiran Presiden SBY.
Meski Presiden SBY tidak hadir, kongres tetap digelar. Tanpa pembahasan yang memakan waktu banyak, kongres pun berhasil melahirkan organisasi baru. Dari beberapa pilihan nama seperti Advokat Republik Indonesia atau Persatuan Advokat Indonesia, Kongres Advokat Indonesia akhirnya dipilih sebagai nama organisasi. Dalam hitungan menit, susunan pengurus diumumkan. Kursi Presiden KAI dipercayakan kepada Indra Sahnun Lubis, yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Umum DPN Peradi.
Tidak lama setelah dibentuk, KAI bersafari ke sejumlah lembaga negara. Istana Presiden menjadi target utama. Pada 4 Juni 2008, Presiden SBY berkenan menerima KAI dan Peradi. Terkesan ingin berposisi netral, Presiden SBY menggelar pertemuan dengan kedua organisasi secara terpisah. Kunjungan ke Istana sempat menghembuskan angin perdamaian tetapi kemudian sirna dengan sendirinya. Aksi saling klaim sebagai The Only wadah tunggal terus berlanjut. Beberapa kali masing-masing kubu juga sempat saling melaporkan ke Kepolisian.
Perseteruan terus terjadi, imbas pun tidak terelakkan. Advokat junior termasuk calon advokat mungkin menjadi pihak yang paling dirugikan. Hasrat mereka memilih profesi advokat tentunya tidak akan mudah. Nasib advokat junior dan calon advokat menjadi terombang-ambing. Mereka bingung hendak berkiblat kemana, ikut ujian yang mana, atau ikut program pendidikan yang mana. Baik KAI dan Peradi memang sudah menegaskan komitmen mereka akan tetap memikirkan kepentingan para junior. Namun begitu, kondisi perpecahan tentunya menimbulkan ketidakpastian.
Asa perdamaian
Matahari pembuka tahun 2009 baru saja terbit, tetapi berharap terciptanya perdamaian di kalangan advokat sepertinya sulit terkabul. Kericuhan di MA beberapa waktu lalu menjadi pertanda bahwa perseteruan semakin hari semakin meruncing. Aksi brutal yang dipertontonkan sejumlah advokat seolah-olah telah menutup hasrat untuk ishlah.
Upaya perdamaian bukannya sama sekali tidak pernah ada. Adnan Buyung Nasution menuturkan bahwa jauh sebelum sikap “anti” Peradi mengkristal, dirinya sempat melancarkan metode persuasif ke DPN Peradi. Harapan Buyung hanya satu, agar Peradi berkenan memperbaiki legitimasi pembentukan peradi yang dinilai cacat hukum itu. Caranya, dengan menggelar kongres yang demokratis memilih kepengurusan DPN Peradi yang baru. Sayang, ajakan Buyung bertepuk sebelah tangan.
Ketika nasi sudah menjadi bubur pun, upaya perdamaian coba digagas. Tidak kurang dari Presiden SBY, Ketua MA Bagir Manan, dan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyerukan agar KAI dan Peradi berkenan duduk satu meja menyelesaikan masalah akut ini. Lalu, ada juga upaya dari kalangan internal advokat. Sejumlah advokat senior yang relatif netral dari perseteruan, merintis jalan menuju perdamaian. Namun, lagi-lagi upaya tersebut menemui jalan buntu.
Asa perdamaian semakin jauh seiring dengan gencarnya masing-masing kubu menggelar kegiatan. Mulai dari ujian, pendidikan, pelantikan, sampai pembentukan cabang organisasi di daerah. Ditambah lagi, baik KAI dan Peradi menunjukkan sikap yang tidak mengarah pada perdamaian. Otto Hasibuan berulang kali menegaskan jika ada pihak yang keberatan dengan kebijakan atau kinerja pengurus, diminta menunggu hingga musyawarah nasional Peradi digelar tahun 2010 nanti. Otto juga selalu menyatakan KAI tidak sah dan tidak memiliki alas hukum untuk mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat. Sementara, KAI terus bersafari mengumpulkan pengakuan dari sejumlah lembaga terkait, termasuk meminta MA melantik calon advokat yang lulus ujian yang digelar KAI.
Tahun sudah berganti, tetapi cerita perpecahan sepertinya belum akan beralih ke episode perdamaian menuju persatuan advokat. Semoga 2009 yang dikenal sebagai Tahun Kerbau di kalender Cina, bisa memberi sedikit asa atas masalah yang membelit kalangan advokat selama bertahun-tahun ini.
(Rzk)
Sumber : hukumonline.com
1 komentar:
MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan
Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku
untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku
Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya
membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia
negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening
liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim
negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan
masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo"
terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan
mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675
Posting Komentar